AKU TIDAK TAHU APA-APA
AKU TIDAK TAHU APA-APA
Oleh : Setia Ayuningtyas
Pagi yang datang untuk kesekian kalinya selama 12 tahun aku hidup di dunia. Aku dengan malas menuruni anak tangga dan mendapati Hermes, anjingku, berada di depan pintu seakan menunggu untuk mengajakku mengelilingi kota Athena. Tanpa pikir panjang, aku mengambil segelas susu dan kemudian menghampiri Hermes di depan pintu rumah. Anjingku ini mempunyai kebiasaan unik, yaitu membawa kertas-kertas yang berterbangan di jalan dan membawanya pulang. Hampir semua kertas yang dibawa Hermes adalah surat-surat yang tidak penting bagiku dan catatan suatu pekerjaan yang akan dilakukan seseorang. Terkadang, Hermes juga membawa pulang surat yang belum tersampaikan pada penerima surat. Biasanya, aku mengantarkan surat tersebut sampai tujuan jika surat tersebut memiliki alamat yang jelas.
Adakah sesuatu yang disebut kesopanan alamiah?
Orang yang paling bijaksana adalah yang mengetahui bahwa dia tidak tahu …
Pengetahuan yang sejati berasal dari dalam.
Barang siapa mengetahui yang benar akan bertindak benar.
Itu adalah tulisan pada secarik kertas yang Hermes bawa pagi ini. Tidak ada amplop, tidak ada nama, dan alamat penulis juga tujuan. Aku menyimpulkan bahwa secarik kertas tersebut bukan sebuah surat. Mungkin catatan seorang Sophis, pikirku. Sophis adalah sekelompok guru dan filosof keliling dari koloni-koloni Yunani yang berkumpul di Athena. Mereka menamakan diri kaum Sophis. Kata “sophis” berarti seseorang yang berpengetahuan dan bijaksana. Di Athena, kaum Sophis mencari nafkah dengan mengajar para warga negara dengan imbalan uang. Asal kalian tahu, ayahku termasuk dalam kaum Sophis yang terkenal. Jadi, aku tidak perlu membayar untuk belajar.
Segelas susu sudah habis dan Hermes mulai menjilatiku sebagai isyarat ingin mengajakku berjalan-jalan mengelilingi kota. Aku segera mengenakan alas kaki, memasangkan tali kalung Hermes, dan tidak lupa membawa secarik kertas yang Hermes berikan tadi. Ayahku sudah mulai bekerja dan ibuku pasti sudah menduga bahwa pagi-pagi begini aku pasti berkeliling kota dengan Hermes. Tanpa pikir panjang, aku langsung berjalan keluar rumah dengan memegang tali pengikat Hermes. Aku akan menuju pusat kota dan menikmati hiruk-pikuk kota Athena bersama Hermes. Mengamati berbagai hal di tempat kelahiranku ini sudah menjadi hobiku sejak kecil.
Aku melihat beberapa Sophis yang berada di beberapa rumah warga untuk mengajarkan tentang para dewa dan cerita-ceritanya. Tetapi, aku tidak melihat ayahku. Aku rasa dia sedang berada di sinagoge untuk mengajari para Sophis muda. Pusat kota memang selalu ramai. Beberapa Sophis yang tidak bekerja menghabiskan waktu untuk mengobrol di tempat ini. Aku pun memilih duduk di tempat yang sedikit lebih sepi.
“Hai Rere! Oh Kante, anjing nakal!” Sapa Joana padaku dan anjingku. Jangan bertanya mengapa Joana memanggil anjingku Kante. Sebenarnya, Hermes adalah nama dewa dan aku memberikan nama tersebut pada seekor anjing. Kenapa Kante? Ayahku yang memberi nama Kante dan sebagian besar orang yang mengenal anjingku memanggilnya dengan nama Kante. Hanya sedikit yang mau memanggil anjingku dengan nama Hermes. Mereka merasa tak seharusnya seekor anjing diberi nama dewa.
“Hai Joanna! Mau kemana pagi-pagi begini?”
“Aku akan pergi ke Sinagoge. Ada Sophis yang harus kutemui. Mau ikut?”
“Tidak. Aku rasa aku tidak perlu.”
Joana pun melanjutkan perjalanannya. Aku yakin dia akan mendapat ceramah tentang para dewa dari Sophis yang ditemuinya. Aku sudah cukup hafal mengenai cerita-cerita para dewa dan beberapa ajaran lainnya. Seperti pelajaran mitologi Yunani yang merupakan kumpulan legenda Yunani tentang dewa-dewi Yunani, serta para pahlawan yang berawal dan tersebar melalui tradisi lisan. Kebanyakan dewa Yunani digambarkan seperti manusia, dilahirkan namun tak akan tua, kebal terhadap apapun, bisa tak terlihat, juga setiap dewa mempunyai karakteristik tersendiri. Karena itu, para dewa juga memiliki nama-nama gelar untuk setiap karakternya yang mungkin lebih dari satu seperti, Demeter. Dewa-dewi ini kadang-kadang membantu manusia. Bahkan, memperistri seorang wanita manusia dan menghasilkan anak yang setengah manusia setengah dewa. Anak-anak inilah yang kemudian dikenal sebagai pahlawan. Ayahku juga sering bercerita padaku tentang 12 dewa-dewa di Olympus. Ayah cukup sering memberiku pelajaran tentang hal tersebut dan sesekali memarahiku karena tanggapanku menjengkelkan.
Sejak umur sepuluh tahun, aku memilih untuk tidak menyembah para dewa seperti keluargaku. Aku memilih untuk menjadi seorang agnostik. Butuh proses panjang untuk keluargaku menyetujuinya. Kenapa aku memilih agnostik? Berawal dari ayahku yang memberiku banyak sekali pengetahuan tentang kepercayaan dan kebudayaan. Aku mulai berpikir bahwa ada hal lain selain dewa yang memberiku banyak hal. Aku percaya akan adanya Tuhan, sekalipun aku tidak mampu memberikan dasar yang rasional. Kata ayah, mempercayai adanya Tuhan, tapi tidak memeluk suatu keagamaan atau kepercayaan tertentu disebut agnostik. Lambat laun aku memastikan bahwa hal tersebut adalah Tuhan yang tidak bisa didefinisikan seperti para dewa. Bagaimana pun, Tuhan itu ada.
Aku teringat pada secarik kertas yang kubawa. Aku membacanya berulang-ulang dan mencoba untuk memahaminya.
“Adakah sesuatu yang disebut kesopanan alamiah, Hermes?” Hermes hanya menjulurkan lidahya. Aku memutar otak dan berpikir jawaban untuk pertanyaan pertama. Mungkin kesopanan alamiah adalah sesuatu yang tadinya tidak wajar menjadi dianggap wajar. Seperti orang Eropa saat ini yang mulai terbiasa telanjang saat berjemur. Banyak negara yang melarang hal tersebut dan menganggapnya tidak wajar. Tetapi, suatu saat nanti semakin banyak yang melakukannya, maka hal tersebut akan dianggap semakin wajar-wajar saja, sekalipun hal tersebut dilarang di daerah tertentu.
Aku rasa aku sudah menyelesaikan gambaran pertanyaan yang pertama. Aku pun melanjutkan kalimat kedua dalam secarik kertas tersebut. Belum sempat aku memikirkannya, seorang bapak-bapak duduk di sampingku. Aku tersenyum padanya dan dia pun membalas dengan senyumnya. Segera aku membawa Hermes ke pelukanku agar tidak mengganggu orang tersebut.
“Siapa namamu? Anjingmu lucu sekali!”
“Nama saya Re dan ya, ini Hermes, satu-satunya anjing yang saya miliki,” jawabku setengah tersenyum.
“Hermes? Bukankah itu nama dewa pembawa pesan?”
“Ah, ya! Dia juga sering dipangil Kante bagi orang-orang yang merasa dia tidak pantas diberi nama Hermes.”
Orang ini tersenyum mendengar jawabanku. Bisa aku definisikan bahwa dia cukup buruk dipandang. Perutnya gendut, matanya menonjol, dan hidungnya pendek serta besar, juga terlihat bodoh.
“Ah ya, Tuan, siapa nama Anda?”
“Socrates. Panggil saja Socrates tanpa embel-embel tuan, gadis cantik.”
“Itu tidak sopan untuk memanggil orang yang jauh lebih tua dari saya.”
“Tidak masalah. Hal seperti sudah menjadi kesopanan alamiah di berbagai tempat.”
Kesopanan alamiah. Dia menyebutkan kesopanan alamiah. Aku jadi teringat secarik kertas yang sedang kubaca. Aku akan mencoba bertanya tentang kalimat kedua dengan orang ini.
“Tuan, yah, Socrates, apa yang paling Anda ketahui dari semua pengetahuan yang sudah Anda punya?” Aku tahu, seharusnya bukan pertanyaan seperti ini yang dilontarkan saat pertama kali berkenalan dengan seseorang.
“Pertanyaan sederhana yang sangat bagus. Aku akan menjawabnya. Sebenarnya, hal yang paling aku tahu adalah bahwa aku tidak tahu apa-apa.”
Percaya tidak percaya, aku tercengang mendengar jawabannya. Apakah dia orang yang bijaksana? Tapi, kenapa dia terlihat seperti orang bodoh begini?
“Jawaban yang sangat bijaksana.”
“Bijaksana?”
“Ah, ya! Saya pernah membaca bahwa orang yang bijaksana adalah orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu apa-apa.” Jawabku tersenyum ragu.
“Hahahaha…” Socrates tertawa.
“Di mana kamu membacanya, nak?” Tanyanya setelah selesai tertawa. Aku menunjukkan kertas yang kubaca tadi dan dia kembali tertawa. Aku pun bertanya mengapa dia tertawa. Dia hanya menggelengkan kepala dan mengembalikan kertas tersebut padaku.
Matahari mulai naik. Sebelum benar-benar terik, aku berpamitan pada orang tersebut dan segera kembali pulang dengan Hermes. Dalam perjalanan, aku mengingat-ingat namanya dan aku akan menanyakannya pada orang tuaku. Socrates.
Aku melepaskan Hermes di teras rumah dan bergegas masuk. Ibuku sudah selesai memasak dan entah kapan, ayah sudah ada di rumah pada jam sepuluh pagi ini.
“Ayah tidak bekerja?”
“Ayah akan bekerja setelah jam tiga sore nanti.”
“Kalau begitu ayah punya waktu luang?”
“Tentu saja.”
Aku mengajak ayah ke ruang keluarga. Ayah membaca bukunya yang digunakan sebagai bahan ajar kaum Sophis. Aku membawakan kue buatan ibu dan segelas kopi untuknya, juga segelas air putih untukku sendiri.
“Apa ayah mengenal Socrates?”
“Socrates? Ya, aku mengenalnya.”
“Siapa dia?”
“Dia seorang filosof, tetapi tidak ikut dalam kaum Sophis karena kita punya banyak sekali perbedaan dalam banyak hal.”
“Apakah ayah pernah mengobrol dengannya?”
“Pernah, tetapi bukan obrolan yang panjang. Jujur saja, ayah menghindari mengobrol dengannya. Banyak orang mengatakan bahwa dia menjengkelkan. Ayah rasa itu karena Socrates terlalu cerdas.”
Aku diam sejenak sambil makan kue. Aku menjadi penasaran dengan Socrates karena pernyataanya bahwa dia tidak tahu apa-apa.
“Kenapa kamu jadi bertanya tentangnya, meli?” (Meli adalah panggilan sayang dalam bahasa Yunani).
“Aku tadi sempat mengobrol dengannya ayah.”
“Oh ya? Di mana?”
“Di pusat kota.”
“Dia memang sering di pusat kota dan di pasar-pasar hanya untuk mengobrol dengan orang-orang.”
“Apakah aku boleh menemui dan mengobrol dengannya setiap hari?”
“Kenapa tidak? Boleh-boleh saja jika kamu bisa menemukannya.”
Ibu menyusul kami ke ruang keluarga dengan membawa secangkir teh hangat untuk dirinya sendiri. Mereka berdua membicarakan rencana beribadah ke kuil Parthenon untuk memuja Athena Parthenos. Aku memilih diam dan mendengarkan. Meskipun aku tidak ikut memuja para dewa, setiap keluargaku pergi ke kuil aku selalu ikut jika tidak malas. Bahkan, aku juga sering berkunjung ke sinagoge untuk melihat teman-temanku belajar dengan para Sophis. Mengisi waktu luang sebelum ayah berangkat kerja, ayah kembali bercerita padaku tentang Hermes. Awalnya, aku mengira bahwa ayah akan membicarakan Hermes, anjingku. Ternyata, ayah akan membicarakan seorang dewa. Jujur saja, aku sudah cukup hafal dengan cerita dewa satu ini.
Hermes adalah dewa pembawa pesan dalam mitologi Yunani. Hermes dilahirkan di Gunung Kellina di Arkadia. Hermes adalah anak dari Zeus dan Maia serta merupakan salah satu dewa Olympus. Simbolnya meliputi kura-kura, ayam jantan, sandal bersayap, topi bersayap, dan kadukeus (tongkat yang dia dapat dari Apollo atas penemuan lira). Dalam mitologi Romawi, Hermes dikenali sebagai Merkurius dan dewa perdagangan yang diadaptasi dari mitologi Etruska. Selain menemukan lira, Hermes juga dipercaya menemukan berbagai jenis olahraga seperi gulat, balap, dan tinju sehingga dianggap sebagai dewa atletik. Hermes melidungi para olahragawan dan membantu atlet yang terluka. Para pelancong juga memberikan persembahan pada Hermes sebelum bepergian supaya perjalanan mereka aman. Sebagai dewa pembawa pesan, Hermes bertugas mengantarkan pesan dari para dewa di Olympus kepada manusia. Dia mengenakan sandal bersayap dalam menjalankan tugasnya.
Hari berikutnya aku mencari Socrates dan menemukannya duduk di depan toko kue jahe. Dia bersama tiga orang pria dalam satu mejanya. Aku yakin dua di antaranya adalah seorang Sophis. Tanpa malu-malu aku menghampiri mereka.
“Permisi, bolehkah saya ikut mengobrol?” Tanyaku sambil menyeret kursi untuk duduk dan meletakkan Hermes di pangkuanku.
“Tentu saja gadis kecil, kau sudah duduk sebelum kami mempersilahkanmu untuk duduk.” Aku hanya meringis saat mendengarnya. Di meja ini akulah yang paling muda dan aku rasa Socrates yang paling tua. Kemudian, ada Darwin dan Alberto yang berumur sekitar 30 tahun. Mereka adalah teman-teman ayahku. Satu pria lagi yang aku tidak tahu namanya, mungkin juga berumur sekitar tiga puluh tahun.
“Apa yang ingin kau dengar dari kami, nak?” Tanya Darwin santai.
“Oh Darwin, aku hanya ingin tahu bagaimana orang dewasa mengobrol.”
“Baiklah gadis kecil,” jawab Alberto yang selalu saja memanggilku gadis kecil semenjak aku masih bayi.
Aku lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Socrates adalah orang yang selalu aku perhatikan saat berbicara. Hampir semua yang dia lontarkan adalah pertanyaan. Tetapi, pertanyaan-pertanyaan Socrates tidak biasa dan selalu mengagetkan lawan bicaranya. Sepertinya ayahku benar, Socrates sebenarnya terlalu cerdas. Dia sama sekali tidak bodoh, tetapi berlagak bodoh.
“Hai gadis kecil! Aku ingin menemui ayahmu. Aku rasa dia akan pergi ke Parthenon hari ini.”
“Bukankah kau bisa langsung ke kuil saja, Alberto?”
“Yah, tapi aku ada sedikit urusan dengan ayahmu juga. Jadi, ayo pergi ke rumahmu sekarang!”
“Kalau begitu, aku tunggu bersama Darwin di kuil,” sahut seorang pria yang aku tidak kenal. Semuanya beranjak pergi kecuali Socrates. Sebelum aku beranjak pergi, aku sempat menanyakan sebuah hal pada Socrates.
“Tunggu, apakah Anda percaya kepada para dewa?”
“Pertanyaan itu terlalu kompleks sedangkan hidup ini terlalu singkat.” Jawab Socrates sambil tersenyum.
“Ayolah gadis kecil!” Seru Alberto yang sudah berjalan tiga meter di depanku.
“Ya, aku akan segera menyusul!” Aku dan Hermes menyusul Alberto dengan setengah berlari. Aku bertanya pada Alberto apakah Socrates pernah menyembah para dewa. Menurut Alberto, Socrates adalah seorang ateis. Aku mengemukakan pikiranku pada Alberto bahwa mungkin saja Socrates agnostik. Sayang sekali, Alberto tidak mau membahasnya lebih jauh. Sesampainya di rumah, ternyata ayah sudah menunggu kedatangan Alberto.
“Meli, belajarlah musik hari ini!” Seru ayah sebelum aku masuk ke rumah.
“Musik apa ayah?”
“Harpa, ayah sudah menyiapkannya di halaman belakang rumah.”
Aku tidak menjawab dan ayah juga sudah berjalan keluar rumah dengan Alberto. Kembali pada tugasku untuk berlatih musik. Harpa adalah musik yang sering dimainkan oleh dewa musik, Apollo. Jujur saja, memainkan Harpa itu sangat sulit. Aku tidak pernah menyelesaikan satu lagu dengan sempurna. Aku pun langsung menuju halaman belakang rumah. Buku lagu, harpa, dan sebuah kursi sudah siap di sana.
“Ayah ada-ada saja! Kenapa dia malah memintaku belajar musik saat dia pergi?” Sudah biasa ayah memberiku sebuah buku untuk dipelajari saat dia pergi. Tapi, bukan buku musik seperti hari ini. Aku sudah malas sebelum mencobanya. Aku memutuskan untuk kembali ke toko kue jahe. Siapa tahu Socrates masih ada di sana. Aku pun segera keluar rumah tanpa membawa Hermes bersamaku. Ayah sudah pergi dengan Alberto tadi dan ibu pastinya sudah pergi sebelum ayah. Jadi, biarlah Hermes yang menunggu rumah.
Aku rasa ada acara di Parthenon hari ini. Parthenon adalah kuil untuk dewi Athena yang dibagun di puncak bukti tertinggi di kota Athena, yaitu di Akropolis ("Kota Tinggi"). Pada Zaman Perunggu Akhir, sekitar tahun 1300 SM, Akropolis merupakan tempat tinggal para raja, sekaligus merupakan tempat pertahanan terakhir jika kota Athena diserang. Setelah Zaman Kegelapan, kota Athena tidak lagi dipimpin oleh raja, sebagai gantinya mereka menerapkan oligarki. Dengan demikian, Akropolis tak lagi menjadi tempat kediaman raja, alih-alih, tempat ini menjadi tempat suci bagi dewi Athena, dan orang Athena membangun kuil untuknya di sana.
“Syukurlah!” Sorakku saat mendapati Socrates masih berada di depan toko kue jahe. Sekarang dia sedang bersama seorang laki-laki yang tak kukenal. Aku hampir menabrak seseorang yang membawa patung kepala Medusa sebelum aku berhasil menyapa Socrates. Tapi, aku tidak peduli dan terus menuju ke tempat Socrates berada.
“Hai Socrates!”
“Ada apa? Kenapa kamu kembali ke sini?” Tanya Socrates ingin tahu.
“Ayah memintaku belajar memainkan harpa. Aku tidak suka dan aku tidak menginginkannya.”
“Kau tidak ikut ke Parthenon?”
“Ayah dan ibu tidak mengajakku. Aku rasa aku tidak perlu pergi ke kuil hari ini. Yah, tidak pernah perlu sebenarnya.”
“Tidak pernah perlu?”
“Sejujurnnya, aku lebih suka mendapati diriku agnostik.” Laki-laki yang duduk di samping Socrates membulatkan matanya setelah mendengar perkataanku barusan.
“Siapa namamu?” Tanya laki-laki itu padaku.
“Aku Re. Kamu sendiri siapa?”
“Aku Noah, murid Socrates.”
“Lebih tepatnya teman berdiskusi,” sahut Socrates.
Semenjak itulah aku memutuskan untuk menjadi murid Socrates dan Socrates menganggapku teman berdiskusi sama seperti Noah. Sebelumnya, aku bertanya pada Socrates kenapa dia tidak ikut dengan kaum Sophis. Jawabannya adalah bahwa ia jauh lebih suka menjadi seorang filosof daripada sophis. Filosof dan sophis memang berbeda. Sophis lebih seperti guru dan bersifat menggurui. Sedangkan filosof, lebih seperti teman berdiskusi dan memahami suatu hal bersama-sama dengan muridnya. Socrates adalah filosof.
Beberapa minggu terakhir aku lebih sering berada di luar rumah daripada belajar dengan ayah di rumah. Aku lebih sering keluar dengan temanku yang juga murid-murid Socrates. Beberapa hari setelah bertemu Noah pertama kali, aku baru tahu bahwa cukup banyak murid-murid Socrates. Aku, Noah dan Joana adalah tiga murid Socrates yang paling muda. Aku 12 tahun, Noah 16 tahun, dan Joana 14 tahun. Murid Socrates yang lain adalah pemuda-pemuda Athena yang berumur 20 tahun atau lebih.
Joana tidak sering menemui Socrates seperti aku dan Noah. Kesehariannya dipenuhi dengan belajar bersama dua sampai tiga Sophis. Sedangkan Noah, dia sama sepertiku, lebih memilih bertemu atau mengamati Socrates daripada belajar dengan para Sophis. Selama dua minggu berturut-turut, Noah mengajakku memahami bagaimana seni berdiskusi Socrates. Hakikat seni Socrates terletak dalam fakta bahwa dia tidak ingin menggurui orang. Sebaliknya, dia memberi kesan sebagai seseorang yang selalu ingin belajar dari orang lain yang diajaknya bicara. Jadi, bukannya memberi kuliah seperti layaknya seorang guru tradisional, dia mengajak berdiskusi.
Saking seringnya aku mengamati Socrates, aku menjadi hafal dengan caranya berdiskusi. Dengan berlagak bodoh, Socrates memaksa orang-orang yang ditemuinya untuk menggunakan akal sehat mereka. Socrates dapat berpura-pura bodoh atau menunjukkan dirinya lebih tolol daripada yang sebenarnya. Aku dan Noah menyebut hal tersebut adalah ironi Socrates. Hal tersebut memungkinkan Socrates untuk terus mengungkap kelemahan pemikiran orang-orang. Dia tidak keberatan untuk melakukannya di tengah alun-alun kota. Jika seseorang baru bertemu dengan Socrates dan berlagak sok tahu, aku yakin orang tersebut akan dipermalukan Socrates dengan mudah.
Sore ini, aku dan Noah akan menemui Socrates di alun-alun sebelah utara dekat kedai kopi. Aku sangat antusias karena selama ini aku lebih banyak memperhatikan tanpa punya waktu untuk mengobrol dengan Socrates. Begitu juga dengan Noah, tetapi Noah sudah terbiasa untuk memperhatikan Socrates saat berdiskusi dan mencatat dialog-dialog Socrates yang dianggapnya penting.
“Di mana kita akan bertemu Socrates hari ini?” Tanyaku pada Noah karena dia yang membuat janji dengan Socrates.
“Depan kedai kopi yang terletak di alun-alun,” jawabnya.
Sesampainya di sana, Socrates sudah duduk manis dan menyeduh kopinya. Aku pun segera menyusul dan memesan kopi. Asal kalian tahu, aku adalah seorang pecinta kopi.
“Hai Socrates! Apakah sudah lama kau menunggu kami?”
“Cukup untuk berdebat dengan seorang pria muda, gadis cantik,” jawab Socrates dan kemudian mencicip kopinya. Aku rasa Socrates sudah menghabiskan secangkir kopi sebelum aku dan Noah tiba.
“Socrates, aku ingin kau memberi beberapa hal dan penjelasan pada kami,” kata Noah antusias.
“Anak-anak yang baik, bolehkah aku menceritakan sesuatu lebih dulu?” Tanya Socrates.
“Tentu saja,” jawabku sambil menerima kopi dari pelayan kedai.
“Tahukah kalian cerita tentang baju baru sang maharaja? Maharaja sesungguhnya telanjang bulat, tetapi tak seorang rakyat pun berani mengatakannya. Tiba-tiba seorang anak berteriak, ‘tapi dia tidak mengenakan apa-apa!’ Dia adalah anak yang berani, se…”
“Seperti kau yang berani mengatakan pada orang-orang betapa sedikitnya yang diketahui manusia,” sambung Noah.
“Bagaimana tepatnya?” Tanyaku dengan seksama.
“Tepatnya, umat manusia dihadapkan pada sejumlah pertanyaan sulit yang tidak dapat kita temukan jawabannya yang memuaskan. Maka, muncul dua kemungkinan, kita dapat memperdayai diri sendiri dan seluruh dunia dengan berpura-pura bahwa kita mengetahui segala hal yang harus diketahui, atau kita dapat menutup mata terhadap masalah-masalah penting dan tinggal diam. Dalam hal ini, manusia terbagi dua. Secara umum, mereka merasa sangat yakin atau sama sekali tidak peduli.”
“Yah, kurasa kau selalu peduli pada apapun,” komentarku yang tetap serius mendengarkannya.
Socrates melanjutkan, “itu seperti membagi sebungkus kartu menjadi dua tumpukan. Kamu meletakkan kartu-kartu hitam di satu tumpukan dan yang merah ditumpukkan satunya. Tapi, berulang kali si badut muncul dari kartu hati atau klaver, wajik atau sekop.” Socrates mengambil napas.
“Kau adalah badut itu Socrates,” kata Noah sebelum Socrates melanjutkan berbicara.
“Dan kau mengaku bahwa kau tidak tahu apa-apa,” sambungku.
“Memang benar. Dan ketidaktahuan itu sangat menggangguku,” kata Socrates seakan dirinya yang tidak tahu apa-apa itu sangat menyedihkan.
“Lalu, bagaimana dengan wawasan yang benar menuntun pada tindakan yang benar?” Tanyaku mengganti topik.
“Begini, tidak mungkin seseorang dapat bahagia jika mereka bertindak menentang penilaian mereka yang lebih baik. Dan orang yang tahu cara meraih kebahagiaan akan melakukan hal itu. Oleh karena itu, orang yang tahu apa yang benar akan bertindak benar. Sebab, untuk apa orang memilih menjadi tidak bahagia?”
Socrates melanjutkan, “bagaimana pendapat kalian, anak muda? Dapatkah kalian menjalani kehidupan yang bahagia jika kalian terus melakukan hal-hal yang jauh di lubuk hati kalian tahu hal tersebut salah? Banyak sekali orang yang berbohong dan menipu juga menjelek-jelekkan orang lain. Apakah mereka sadar bahwa semua ini tidak benar atau tidak adil? Apakah kalian pikir orang-orang ini bahagia?”
“Menurutku tidak,” jawab Noah dengan tegas.
Hari-hariku menjadi lebih bermakna semenjak aku belajar banyak hal dari Socrates. Kadang-kadang ada waktu di mana seluruh murid Socrates berkumpul dan berdiskusi bersama di sinagoge. Setiap saat berkumpul dan berdiskusi, aku lebih banyak mendengarkan karena aku sadar bahwa akulah yang paling tidak tahu apa-apa dan akulah yang paling muda. Selain Noah dan Joana, aku memiliki hubungan cukup dekat seperti halnya kakak-beradik dengan Krito, Plato dan Beetlocke. Aku selalu berada di antara mereka setiap diskusi berlangsung. Plato adalah orang yang selalu menulis apa yang dibicarakan dalam diskusi. Krito adalah orang yang paling antusias dalam diskusi. Sedangkan Beetlocke, adalah orang yang paling sabar menjelaskan padaku tentang apa yang aku tidak paham dalam diskusi tersebut.
Bertahun-tahun aku belajar pada Socrates. Murid Socrates pun semakin bertambah banyak. Namun, semuanya tidak berjalan baik-baik saja. Socrates semakin dibenci oleh pemerintah dan dianggap merusak generasi muda karena hal-hal yang diajarkan. Bahkan, Socrates dianggap ateis. Banyak murid Socrates yang mulai dilarang oleh kelurga mereka agar tidak belajar lagi dengan Socrates. Sehingga mereka harus diam-diam agar tetap dapat belajar dengan Socrates. Untung saja keluargaku tidak seperti itu. Ayah dan ibuku tahu bahwa Socrates adalah orang yang cerdas dan bijaksana. Bahkan, di umurku 20 tahun, ayah sering memintaku mengajari apa yang telah kudapat dari Socrates. Ayah juga berkata padaku bahwa jika aku bisa menjadi seperti Socrates, itu sungguh hal yang luar biasa.
Orang-orang pemerintahan dan sebagian Sophis di Athena sedang merasa tidak damai karena Socrates yang semakin berpengaruh pada generasi muda. Setiap kali aku berjalan bersama Socrates di alun-alun dan pasar atau kota, aku selalu saja mendengar beberapa orang yang meminta Socrates pergi dari Athena, mencaci-makinya, bahkan mengatakan bahwa Socrates orang gila. Namun, Socrates tetaplah Socrates. Dia tidak pernah takut apalagi menyerah pada kehidupan. Dia tetap menjalani hari-harinya dengan bahagia. Aku tahu benar bahwa Socrates sangat tahu bagaimana cara membuat dirinya sendiri bahagia.
Athena semakin gempar. Seperti terbelah menjadi dua bagian dan masing-masing merasa bahwa bagian lain sangat menjengkelkan. Orang-orang pemerintahan menganggap semua orang yang berhubungan dengan Socrates sangatlah menjengkelkan. Sedangkan murid-murid Socrates, dan sebagian orang yang menganggap Socrates benar, merasa pemerintah juga sangat menjengkelkan. Semua kejadian menuju pada pengadilan. Yah, Socrates akan diadili.
“Ayah, kenapa Socrates harus diadili?”
“Ayah juga tidak sepenuhnya mengerti, meli.”
“Apakah ayah tidak bisa melakukan sesuatu untuk Socrates?”
“Tidak meli, kaum Sophis lebih banyak yang membenci Socrates karena mereka tidak mau mengakui betapa sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa, seperti yang pernah Socrates katakan.”
“Apa Socrates akan diadili karena hal itu?”
“Tidak hanya itu, meli. Socrates juga akan mendapat tuduhan merusak generasi muda dan tuduhan sebagai penyebar ateis karena tidak mau mempercayai para dewa.”
Aku hanya diam dan merasa sedih karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk Socrates. Melihatku tak akan berbicara, ayah melanjutkan, “jangan bersedih, meli. Socrates tahu apa yang seharusnya dia lakukan. Kau tidak perlu melakukan apa-apa selain mendoakan yang terbaik untuknya pada Tuhan yang kau percayai.”
Aku segera berpamitan pada ayah dan memutuskan untuk pergi menemui Noah. Kebetulan sekali, aku bertemu dengan Noah dan Krito di depan toko kue jahe.
“Hai! Apa rencana kalian besok saat pengadilan berlangsung?”
“Duduklah! Kita sedang membicarakan yang kau tanyakan,” jawab Krito dan aku pun duduk di sebelah Noah.
“Tidak ada yang bisa kita lakukan. Besok kita hanya akan melihat bagaimana pemerintah mendebat Socrates dan bagaimana Socrates mengajak pemerintah berdiskusi,” kata Noah sambil melihatku dengan tenang.
“Kenapa kita tidak membawanya pergi dari Athena?”
“Socrates tidak akan mau. Guru kita ini adalah orang yang taat hukum,” jawab Krito padaku.
“Aku rasa sebaiknya kita pergi berjalan-jalan hari ini!” Ajak Noah padaku.
“Yah, begitulah sebaiknya. Kalian tidak perlu terlalu memikirkan Socrates. Kita harus yakin Socrates tidak akan kenapa-kenapa,” sambung Krito.
Aku pun berjalan-jalan di sekitar kota dengan Noah. Kami berhenti dan duduk di kuil Parthenon untuk beristirahat. Meskipun tidak ada acara tertentu, kuil cukup ramai hari ini. Tiba-tiba seseorang mengampiriku dan Noah. Dia berkata, “hai anak muda! Bukankah kalian murid Socrates yang gila itu? Aku rasa sudah bukan. Memujalah para dewa dan rajin-rajinlah beribadah di kuil! Jangan hanya meluangkan waktu untuk megobrol dengan orang gila itu! Hahaha…”
Aku akan marah pada orang tersebut jika Noah tidak melarangku. Noah pun segera mengajakku untuk pulang dan dia menemaniku berjalan sampai rumah.
“Tenanglah! Persiapkan saja dirimu untuk melihat pengadilan Socrates besok,” kata Noah padaku sebelum dia pulang.
Keesokan harinya, pukul delapan pagi alun-alun sudah sangat ramai. Aku dan Noah berada di antara orang-orang yang memenuhi kota Athena. Aku melihat Krito dan Plato berada di barisan depan. Aku juga melihat Socrates berdiri di mimbar dan orang-orang pemerintah juga hukum duduk berderet di sebelah kanan Socrates berdiri.
“Apa yang akan terjadi?” Tanyaku pada Noah.
“Tidak akan ada yang terjadi,” jawab Noah sambil menggandeng tanganku dan mengajakku untuk berjalan sedikit ke depan.
Hampir seluruh warga kota Athena menyaksikan kejadian pagi ini. Selama pengadilan berjalan aku benar-benar memperhatikan dengan seksama. Masalahnya adalah seputar Socrates yang merusak generasi muda dengan meminta mereka untuk tidak mempercayai para dewa. Setahuku, Socrates tidak pernah benar-benar melarang murid-muridnya menyembah para dewa. Socrates hanya membenarkan jalan pikir dan meminta murid-muridnya menggunakan akal sehat mereka. Selain itu, menyembah para dewa atau pun tidak bukan urusan Socrates.
Socrates memang manusia yang luar biasa. Bahkan, dia sempat berpidato untuk seluruh orang yang menyaksikannya. Socrates memang tidak pernah berubah. Pendiriannya sangat melekat pada dirinya dan tak pernah goyah. Pada akhirnya, pemerintah pun memberi Socrates pilihan, yaitu pergi dari Athena atau hukuman mati. Socrates yang taat hukum memilih untuk dihukum mati. Aku yang mendengarnya mulai menangis.
“Dia tidak akan kenapa-kenapa. Bahkan, mati sekalipun,” kata Noah menenangkanku dan merangkul pundakku.
Cukup banyak warga yang tidak setuju bahwa Socrates di hukum mati. Pemerintah pun memutuskan agar Socrates dimasukkan ke penjara terlebih dahulu untuk menentukan keputusan. Tanpa pikir panjang, semua murid Socrates langsung menuju di mana Socrates dipenjara. Warga Athena pun kembali pada aktivitas mereka dan menunggu apa lagi yang akan terjadi besok. Aku dan Noah juga bergegas menuju penjara di Athena.
“Ayah! Aku akan menemui Socrates,” kataku pada ayah ketika kami bertemu di tengah jalan.
“Hati-hati, meli! Noah, jaga putriku!” Jawab ayah dan Noah pun tersenyum sambil mengangguk.
Sesampainya di penjara, kami segera menemui Socrates dan berdiskusi tentang bagaimana cara membawa Socrates pergi dari Athena atau mengaburkan diri. Socrates dengan tenang mengajak murid-muridnya berdiskusi hal lain. Dengan pintarnya, ia membuat semua muridnya lupa apa yang sejak awal ingin dibicarakan. Socrates malah mengajak kami berdiskusi tentang apa itu cinta.
“Cinta itu semakin dicari, semakin tidak ditemukan. Cinta adanya di dalam lubuk hati. Plato sudah cukup paham perihal cinta. Kalian bisa belajar padanya,” itulah kata Socrates terakhir sebelum kami diminta pergi meninggalkan penjara.
Setelah keluar dari bangunan penjara tersebut, Krito teringat bahwa kami tidak jadi mendiskusikan bagaimana membawa Socrates pergi dari Athena. Krito pun memberitahu bahwa besok kami harus datang lebih awal sebelum pengadilan kembali dilaksankan. Kami pun segera pulang ke rumah masing-masing. Aku yakin Krito, Plato, Beetlocke, Noah, dan yang lainnya tidak akan membiarkan Socrates dihukum mati begitu saja.
“Oh meli! Bagaimana gurumu?” Tanya ayah sesampainya aku di rumah.
“Dia baik-baik saja ayah,” jawabku.
“Apakah dia akan mengambil keputusan untuk pergi dari Athena?”
“Aku tidak tahu ayah. Socrates tidak mengatakan apa pun tentang itu.”
“Aku berharap dia meninggalkan Athena daripada dihukum mati. Tentu saja kau masih bisa menemuinya jika dia memilih untuk pergi dari Athena,” sambung Ibu yang kemudian merangkulku dan mengantarkanku ke kamar.
Keesokan harinya, aku, Noah dan murid-murid Socrates lainnya berada di penjara satu jam sebelum Socrates kembali di bawa ke tengah alun-alun. Hal yang sama terulang kembali, kami semua tidak jadi membicarakan penyelamatan Socrates. Socrates malah mengajak kami semua berbincang dan mendiskusikan beberapa hal. Krito yang menyadari pengadilan akan diadakan beberapa menit lagi, dia langsung mengajak Socrates untuk segera mengaburkan diri.
“Jika aku kabur dari hukuman, itu adalah tanda bahwa aku takut dengan kematian. Hal tersebut bukan sifat seorang filsuf sejati, nak,” kata Socrates pada seluruh muridnya. Pemerintah pun datang dan membawa Socrates ke tengah alun-alun. Kami semua mengikutinya. Aku dan Noah berada di belakang Krito. Kami murid-murid Socrates menjadi segerombol orang terdepan dalam melihat pengadilan ini.
“Bagaimana Socrates, kau memilih mati atau pergi dari Athena?” Tanya salah satu hakim yang bertugas.
“Aku tidak akan pergi dari Athena, Tuan,” jawab Socrates sambil tersenyum. Seluruh murid Socrates mulai gelisah. Tanganku pun tidak pernah lepas dari pinggang Noah dan sesekali meremasnya karena kekhawatiranku pada Socrates. Pemerintah pun bertanya pada seluruh warga yang hadir menyaksikan pengadilan ini,
“Bagaimana saudara-saudara? Siapakah yang setuju apabila Socrates sang filosof yang merusak generasi muda ini dihukum mati?” Menjawab pertanyaan dari pemerintah tersebut, banyak sekali warga yang mengangkat tangannya sebagai tanda bahwa mereka setuju Socrates dihukum mati.
“Dan siapa yang tidak setuju?” Tanya hakim kemudian setelah selesai menghitung suara yang setuju.
“Bagaimana Socrates? Hukuman mati sudah diputuskan untukmu,” kata Melethus, salah satu hakim tersebut.
“Wahai warga Athena, aku menghormati dan mencintai kamu, tetapi aku lebih tunduk kepada Tuhan daripada kamu, dan selama hayat dikandung badan dan aku memiliki kekuatan, aku tak akan berhenti mengerjakan dan mengajarkan filsafat, menganjurkan setiap orang yang kutemui, karena ketahuilah bahwa ini adalah perintah Tuhan, dan aku percaya bahwa tak ada kebaikan lebih besar bagi negara daripada pengabdianku pada Tuhan,” kata Socrates pada seluruh warga Athena.
Socrates pun dinyatakan bersalah dengan suara 280 melawan 220. Ia pun dituntut hukuman mati dengan cara meminum racun. Kami semua murid-murid Socrates, hanya bisa menyaksikan tanpa berbuat apa pun untuk membantu Socrates. Socrates telah memilih jalannya sendiri. Seorang hakim pun membawakannya segelas minuman beracun dan meminta Socrates meminumnya. Aku melihatnya sambil memeluk Noah dengan erat dan menangis. Noah pun hanya diam dan membalas pelukanku. Sebelum meminumnya, Socrates berkata pada Krito,
“Krito! Kita puya hutang ayam dengan Asklepius, tolong jangan lupa bayar hutangnya!”
Socrates pun segera meminum racunnya dan tak lama kemudian jiwanya sudah tak bersamanya lagi. Sebagian orang, terutama murid-murid Socrates, dilanda kegelisahan atas kematian Socrates. Noah membawaku pulang. Selama perjalanan aku tidak berhenti menangis dan bertanya kenapa Socrates harus mati. Noah berusaha menenangkanku bahkan sampai aku tiba di rumah.
Dua tahun setelah kematian Socrates…
Aku dan Noah telah menikah. Aku juga memiliki anjing baru bernama Eros. Plato telah berhasil mendirikan sekolah filsafat di Athena. Warga kota Athena pun semakin maju dan mau menerima pemikiran baru para filosof. Aku dan Noah sudah pasti ikut bekerja di sekolah yang Plato dirikan. Kami menjadi seorang filosof di sana. Joana dan Beetlocke menjadi bagian dari orang-orang pemerintahan. Plato dan Krito sendiri lebih fokus membuat buku tentang segala hal yang pernah diajarkan Socrates. Athena benar-benar jauh lebih baik, tidak seperti dua tahun lalu di mana Socrates harus kehilangan nyawa karena pemikirannya yang tidak diterima.
Bahagia adalah kupu-kupu
Mengepak lemah, rendah dekat tanah
Tapi nestapa adalah rajawali
Dengan dua sayap hitam raksasa nan perkasa
Ia mengangkatmu tinggi di atas kehidupan
Yang merekah di bawah sana, di hangat surya dan pertumbuhan
Rajawali nestapa tinggi terbang
Ke negeri para malaikat yang setia menjaga sarang kematian.
“Apa lagi yang kau tulis, Plato?” Tanyaku pada Plato setelah selesai membaca secarik kertas yang Plato singkirkan sebagai tanda ia telah selesai menulisnya.
“Aku hanya menulis beberapa kalimat indah saja. Kemudian, aku akan menuliskan tentang cinta dan pernikahan,” jawab Plato.
“Bisakah kau menceritakannya pada kami?” Tanya Noah yang tiba-tiba mucul dan duduk di sebelahku.
“Tentu saja. Dulu, Socrates pernah mengajakku berjalan-jalan di ladang gandum, dia memintaku untuk terus berjalan tanpa boleh kembali mundur. Dia memintaku mengambil sebuah ranting yang paling menarik. Di tengah perjalanan, aku menemukan ranting yang menurutku menarik, tetapi aku tidak mengambilnya. Aku berpikir mungkin ada ranting yang lebih bagus di depan sana. Sayangnya, aku tidak menemukan yang lebih bagus. Padahal, aku tidak boleh berjalan kembali. Akhirnya, Socrates pun mengatakan padaku bahwa itulah cinta.”
“Kemudian, bagaimana kau menuliskan tentang pernikahan?” Tanyaku sambil membelai Eros.
“Aku akan menjelaskan tentang pernikahan sesuai dengan pengalamanku dulu dengan Socrates. Socrates pernah memintaku menebang pohon tertinggi di hutan yang subur. Katanya, aku akan menemukan apa itu pernikahan jika aku telah menebang pohon tersebut. Lalu, aku berjalan menyusuri hutan tersebut. Tak lama kemudian, aku kembali dengan membawa sebuah pohon. Namun, pohon yang kubawa bukanlah pohon yang paling tinggi. Pohon tersebut biasa-biasa saja. Socrates pun bertanya mengapa aku menebang pohon yang seperti itu. Aku pun menjawabnya bahwa berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajahi setengah hutan, ternyata aku kembali dengan kosong. Jadi, pada kesempatan yang kedua kalinya, aku melihat pohon tersebut tidak terlalu buruk dan aku segera menebangnya serta membawanya pada Socrates. Aku mengatakan padanya bahwa aku tidak mau kembali dengan tangan hampa. Socrates pun mengatakan padaku bahwa aku telah menemukan apa itu pernikahan.”
“Bagus sekali,” kata Noah.
“Socrates memang tidak memiiliki ajaran yang buruk,” sahutku.
“Ya, bahkan aku merasa dia masih hidup sekarang. Begitu juga seribu tahun kemudian, dia akan tetap hidup,” kata Plato sambil tersenyum.
Dia melanjutkan, “buku ini, yang akan membuat Socrates akan selalu hidup sekalipun sudah mati. Anak cucu kita akan membacanya, semua orang pun akan mengenal siapa Socrates yang sebenarnya. Dan selama itulah Socrates tetap hidup. Aku harap kalian akan selalu belajar dan belajar. Dulu sampai sekarang pun, kita tetap tidak tahu apa-apa. Jadi, selalulah belajar dan bertanya. Pengetahuan tidak pernah ada habisnya. Jadilah filosof sejati seperti yang pernah Socrates ajarkan pada kalian.”
Kami saling tersenyum setelah Plato menyelesaikan kalimatnya. Aku dan Noah segera berpamitan pulang agar tidak mengganggu Plato menulis buku. Di tengah perjalanan seorang gadis berumur 12 tahun menghampiri Noah dan bertanya,
“Tuan, Anda seorang filosof, bukan? Apa yang paling Anda ketahui dari semua pengetahuan yang sudah Anda punya?” Tanya bocah cilik itu pada Noah.
“Pertanyaan sederhana yang sangat bagus. Aku akan menjawabnya. Hal yang paling aku tahu adalah bahwa aku tidak tahu apa-apa.” Jawab Noah sambil tersenyum pada gadis itu dan aku memperhatikan mereka berdua.
“Jawaban yang sangat bijaksana.”
“Bijaksana?” Tanya Noah.
“Ah, ya! Saya pernah membaca bahwa orang yang bijaksana adalah orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu apa-apa,” jawabnya tersenyum ragu dan segera berlari mengahampiri teman-temannya tanpa berpamitan pada kami.
Kami pun meneruskan perjalanan pulang. Aku pun menjadi teringat waktu pertama kali aku bertemu dengan Socrates.
“Apa kau tahu?” Tanyaku membuat Noah bingung.
“Tahu apa, meli?”
“Gadis kecil yang baru saja menghampiriku membuatku teringat sesuatu.”
“Apa itu?”
“Gadis kecil itu sepertiku dan kau seperti Socrates. Pertama kali aku bertemu dengan Socrates, aku bertanya padanya apa yang dia tahu. Dan Socrates menjawabnya seperti kau menjawab gadis kecil tadi.”
“Aku tidak tahu apa-apa.”
{}
Leave a Comment