SCHWARZWALD
Siang
itu, matahari yang tengah bersinar cerah hampir di seluruh penjuru dunia.
Namun, tidak dengan tempat dimana terlihat sepasang kekasih sedang duduk di
pinggir sungai sambil menikmati
kesunyian bersama. Di tempat itu cahaya matahari hanya sanggup memberikan
kemilaunya yang terlihat temaram.
Schwarzwald.
Begitulah orang disini menyebutnya atau yang lebih dikenal dengan nama Black Forest. Daratan hutan luas dengan
pepohonan yang lebat dan hampir menutupi daerah tersebut hingga cahaya matahari
tidak terlalu menembus ke dalam hutan.
Dua
sejoli yang tengah dimabuk asmara tersebut saling beradu pandangan. Mata mereka
yang bertemu seakan mengisyaratkan sebuah gejolak asmara yang membara. Sebuah
perasaan yang tak hanya dapat disampaikan sekilas melalui bibir, tapi juga
sanggup menyelami dalamnya rasa yang ada hanya dengan menatap manik mata
masing-masing.
Tangan
lelaki itu mulai bergerak menuju puncak kepala perempuan dihadapannya. Ia
menyelipkan anak rambut kekasihnya dengan pandangan yang masih terpaku pada
mata indah milik sang kekasih. “Aku mencintaimu, Adriana.”
Perempuan
itu tersenyum melihat sikap penuh cinta dari kekasihnya. “Aku juga mencintaimu,
Lennard,” balas Adriana. Setelahnya semua larut begitu saja bersama gejolak
dalam diri masing-masing.
***
Buket
bunga terlihat begitu memenuhi salah satu sudut koridor di salah satu gedung
universitas yang berada di Freiburg––salah satu kota di barat daya Jerman.
Sebuah bingkai foto seorang perempuan berambut pirang dengan bola mata biru
cerah berdiri tegak di atas tumpukan buket bunga.
‘Rest in Place Adriana.’ Tulisan itu
terpampang jelas diatas bingkai foto perempuan bermata biru tadi.
Berita
kematian Adriana begitu cepat menyebar bahkan seluruh penjuru universitas sudah
mengetahui berita tersebut. Peristiwa nahas itu terjadi lima hari yang lalu
saat ia dan kekasihnya–Lennard sedang berada di Schwarzwald. Entah apa yang
terjadi dengan keduanya, tapi salah satu penduduk sekitar menemukan Lennard
dengan keadaan yang amat menyedihkan. Bajunya sudah tidak berbentuk karena
sobek dimana-mana, pandangannya kosong dan saat seseorang mendekatinya, lelaki
tampan itu hanya menjerit ketakutan sambil berteriak. Kemudian, jasad Adriana
baru ditemukan tiga hari setelahnya dengan luka bakar hampir di seluruh
tubuhnya.
Polisi
masih terus mendalami kasus tersebut karena minimnya informasi dan juga saksi
utama yaitu Lennard tidak bisa dimintai keterangan karena masih di bawah penanganan
dokter spesialis kejiwaan.
Seorang
perempuan menatap foto Adriana dengan lekat. “Aku tidak menyangka kehidupan
pasangan ini akan berakhir dengan sangat mengenaskan.”
“Ya,
hidup memang tidak ada yang tahu bagaimana jalannya,” sahut lelaki di sebelahnya.
Perempuan
itu pun mengalihkan pandangannya ke lelaki di sebelahnya. “Semoga saja kita
tidak berakhir seperti mereka. Itu terlalu menakutkan bagiku, Billy.” Lelaki
itu hanya tersenyum dan menggenggam erat tangan perempuan di sebelahnya.
“Ayo,
kita berdoa untuknya dan setelahnya kita pulang, Madeline.” ajak Billy yang
dibalas anggukan oleh Madeline.
***
Sayup-sayup
terdengar sebuah lagu yang berasal dari laptop Billy. Lelaki bermata abu-abu
tersebut sedang mengedit sebuah video yang nantinya akan diunggah ke channel youtube miliknya bersama Madeline––kekasihnya di dalam kamarnya.
Sedangkan Madeline sedang sibuk membuat cookies
untuk mereka berdua.
Keduanya
memang sepasang vloger yang mempunyai
subscriber cukup banyak di youtube. Oleh karenanya, sudah hampir
setahun keduanya memutuskan tinggal bersama di apartemen milik Billy agar lebih
mudah saat membuat video bersama.
Setelah
selesai mengedit video, Billy membuka situs pencarian google untuk mencari topik yang menarik sebagai bahan video blog
selanjutnya. Tak lama, lelaki itu mengernyit melihat salah satu halaman web
yang menampilkan pemandangan Schwarzwald. Namun setelahnya, Ia menyeringai
kecil seperti seorang anak yang menemukan mainan baru.
“Billy
…,” suara lembut Madeline membuat Billy menoleh ke arah pintu.
Billy
langsung menarik pinggang Madeline dan merapatkannya ke tubuh Billy yang masih
duduk di pinggir kasur. Madeline hanya terkekeh kecil melihat Billy yang sedang
kumat manjanya seperti ini. “Ada apa?” tanya Madeline sambil menyuapi Billy cookies yang ia buat.
Billy
tersenyum ke arah Madeline dengan mulut yang masih penuh dengan cookies. Setelahnya ia baru menyuruh
Madeline melihat layar laptopnya. Perempuan itu hanya mengernyit berbeda dengan
Billy yang tersenyum senang.
“Aku
merasa tertarik dengan penawaran menjelajahi Schwarzwald, dan kita bisa
menjadikan penjelajahan ini sebagai konten di video kita selanjutnya.” Billy nampak
antusias saat menceritakan idenya pada Madeline, berbeda dengan perempuan di
sebelahnya yang nampak enggan.
“Billy,
kau serius?” Billy menggangguk cepat. “Ini gila, Billy. Kau lupa dengan
kejadian yang menimpa Adriana dan Lennard? Kejadiannya bahkan baru seminggu
yang lalu.” Madeline mulai melangkahkan kakinya menjauhi Billy.
Namun,
Billy sudah mencekal tangan kekasihnya terlebih dahulu. “Dengarkan aku dulu,
Mad.” Langkah Madeline terhenti, tapi tubuhnya masih enggan berbalik ke arah
Billy.
Billy
menghela napas sesaat. “Kamu tidak perlu takut. Lagi pula polisi sedang
berusaha menemukan pelakunya, bukan?” ucapan Billy yang justru membuat Madeline
gusar dan terpaksa membalikkan tubuhnya menghadap Billy.
“Justru
karena polisi belum menemukan pelakunya, Billy. Demi Tuhan! Aku tidak bisa
membayangkan jika apa yang menimpa mereka terjadi pada kita.” Rasa kengerian
begitu kentara dari suara Madeline yang bergetar.
Billy
langsung bangkit dari posisinya dan memeluk tubuh kekasihnya––mencoba
menenangkan. Setelahnya ia menangkup wajah Madeline dengan kedua tangannya,
sedangkan perempuan itu hanya memejamkan matanya dan merasakan ketenangan yang
kekasihnya salurkan lewat tangan hangatnya.
“Jangan
takut, baby,” ucap Billy begitu
kelopak mata cantik di depannya terbuka. Madeline hanya mengangguk kecil.
Selanjutnya Billy kembali memeluk Madeline sekilas.
“Kita
tidur saja kalau begitu. Sepertinya kau kelelahan setelah membuat cookies.” Billy terkekeh ketika
mengucapkannya. Namun, tidak dengan Madeline yang berekspresi datar dan melepas
pelukan Billy.
“Mad
…,” tangan Billy berusaha meraih pinggang Madeline, tapi tangannya sudah
ditepis Madeline terlebih dahulu.
“Aku
ingin tidur di kamar sebelah,” ucap Madeline dan kembali melangkahkan kakinya.
Namun,
lagi-lagi langkah Madeline terhenti dan Billy sudah menghadangnya dari depan.
“Kau marah dan memilih tidur sendiri hanya karena ini? Madeline, are you serious?” Billy terkekeh kecil,
tapi nampak panik juga.
“I’m on period,” ucap Madeline dengan
jengah.
“Astaga!
Aku sedang tidak menginginkannya, baby.
Lagi pula aku akan mengerti kalau itu alasanmu menolakku semisalnya nanti aku
ingin. Tidur disini saja, ya.” Setengah panik Billy berusaha membujuk
kekasihnya.
“Kalau
begitu seharusnya kau mengerti saat aku ingin tidur sendiri, Billy,” balas
Madeline sambil berlalu tanpa menghiraukan Billy yang terus menyerukan namanya.
Melihat
tubuh Madeline yang sudah menghilang dari balik pintu kamarnya, membuat Billy
membuang napasnya kasar. Persetan dengan
perempuan dan tamu bulanannya, batin Billy yang setelahnya memilih
menenggelamkan dirinya di balik selimut.
***
Madeline
melangkahkan kakinya memasuki gedung kampusnya dengan Billy yang masih
menggenggam tangannya. Perempuan itu sudah merasa lebih baik dari pada kemarin
saat kekasihnya itu ingin mengajaknya menjelajahi Schwarzwald. Sejujurnya, ia
tidak marah pada Billy, hanya saja ia masih ngeri dan sedikit tidak paham pada
pemikiran Billy yang terlihat begitu berminat dengan penjelajahan tersebut.
Berita
kelanjutan dari proses penyelidikan kematian Adriana menjadi hal pertama yang
ia dengar saat kakinya baru berapa langkah di dalam gedung kampusnya. Hampir
sebagaian dari mahasiswa yang berlalu lalang membicarakannya. Dan telinganya
menangkap bahwa kematian Adriana tidak wajar karena hasil otopsinya menunjukkan
ada beberapa campuran cairan kimia di dalam tubuhnya. Oleh karenanya, pihak
kepolisian sedang bekerja sama dengan seorang profesor ahli kimia yang mengajar
di kampus ini.
Tanpa
sadar, Madeline memperat genggamannya pada Billy. Lelaki itu pun menghentikan
langkahnya dan memegang kedua bahu Madeline. “Mad, are you okay?” mata Billy menatap lurus mata Madeline.
“Ak
… aku … hanya …” ucapan Madeline terputus karena Billy segera mengecup bibirnya
sekilas. “It’s okay, baby. Kita tidak
akan seperti mereka,” ucap Billy dan memeluk tubuh Madeline setelahnya.
Di
tempat lain, seorang polisi sedang mendatangi ruang perawatan Lennard. Keadaan
lelaki itu masih sama seperti awal, bahkan lebih parah. Matanya tampak
menggelap dan memiliki kantong, belum lagi tubuhnya yang tampak lebih kurus
serta pipinya tirus, juga pandangannya yang nampak kosong seolah kehilangan
jati dirinya sendiri.
Baru
beberapa langkah polisi tersebut mendekat, Lennard sudah menjerit ketakutan.
“Aku mohon jangan bunuh aku. Aku mohon lepaskan aku! Tolong aku! Tolong!!”
kalimat itu berkali-kali keluar dari bibir Lennard dan membuat polisi tadi
menghela napas sesaat dan memilih keluar dari kamar rawat Lennard.
Polisi
tersebut menggeleng saat beberapa rekannya tampak berdiri dekat pintu ruangan.
Wajah setengah frustasi nampak jelas di wajah mereka. Kasus ini memang susah
dipecahkan karena hanya Lennard yang dapat menjelaskan dengan detail seperti
apa kejadian yang menimpanya. Ditambah fakta baru kalau beberapa jaringan otak
Lennard mengalami kerusakan yang lagi-lagi akibat campuran bahan kimia yang
masuk ke dalam tubuhnya.
***
Madeline
terbangun dari tidur dengan napas yang tersengal-sengal. Keringatnya bercucuran
membasahi hampir seluruh permukaan wajahnya. Sedangkan Billy yang tidur di
sebelahnya mulai menggeliat karena gerakan Madeline tadi. Mata Billy menyipit
melihat kekasihnya yang sedang terduduk dan masih berusaha menormalkan
napasnya.
Billy
langsung terduduk dan menatap wajah Madeline dengan khawatir. “Ada apa, baby? Kau mimpi buruk? Atau terjadi
sesuatu? Atau kau merasa sakit? Atau pusing? Atau–” pertanyaan yang
bertubi-tubi Billy lontarkan terputus karena pelukan tiba-tiba kekasihnya.
“Aku
takut, Billy ….” Suara serak Madeline teredam karena masih menenggelamkan
wajahnya pada bahu kekasihnya. Sedangkan Billy merasa kaosnya basah karena air
mata Madeline.
Lelaki
itu menguraikan pelukannya dan menghapus air mata Madeline dengan usapan
jempolnya. “Jangan takut. Aku disini, okay?
Katakan, kau bermimpi apa, baby?”
tanya Billy dengan lembut.
“Aku
bermimpi …,” ada jeda sesaat sebelum Madeline melanjutkan kalimatnya. “Kita
mengalami hal yang seperti Adriana dan Lennard.” Billy sempat terkejut sesaat,
tapi ia masih berusaha mendengar cerita kekasihnya sampai selesai.
“Namun,
yang berada di posisi Adriana bukan aku, tapi dirimu, Billy. Itu benar-benar
membuatku takut. Aku takut kita seperti itu kalau kita tetap nekad ke
Schwarzwald.” Ucapan Madeline membuat Billy menghela napas sesaat.
Billy
mengelus punggung tangan kekasihnya dan tersenyum lembut. “Itu hanya mimpi, baby. Lagi pula itu bentuk dari
ketakutanmu yang berlebihan saja.”
“Jangan
dipikirkan lagi, ya,” lanjut Billy setelahnya dan mengecup puncak kepala
Madeline sekilasnya.
“Aku
tidak ingin kesana, Billy,” pinta Madeline setengah merengek.
“Kita
bicarakan besok saja,” jawab Billy agar Madeline kembali tidur.
Pagi
harinya, sepasang kekasih tersebut sudah duduk sambil menikmati sarapannya.
Namun, Madeline merasa jika Billy tidak seperti biasanya dan tampak seperti
sedang memikirkan sesuatu. Ada keinginan untuk bertanya ada apa pada sang
kekasih, tapi Madeline memilih diam hingga Billy yang mulai bersuara.
“Maddie
…,” Madeline menghentikan aktifitas sarapannya saat Billy memanggil nama
kesayangannya.
“Ada
apa, Billy?” tanya Madeline menatap kekasihnya.
Tangan
Billy meraih tangan Madeline dan menatap matanya serius. “Apa kau yakin, tidak
ingin mencoba ke Schwarzwald?”
Madeline
berdecak dan membuang napas. “Billy … ayolah, kita sudah membahas ini sebelum–”
ucapan Madeline terhenti karena tangan Billy tiba-tiba melepas genggamannya.
“Okay, Mad. Kalau begitu kita habiskan
sarapan kita dan segera ke kampus.” Billy kembali memokuskan pandangan pada
piring di depannya.
“Billy,
apa kau marah?” tanya Madeline hati-hati.
Billy
tersenyum, tapi tidak seteduh biasanya. “Untuk apa aku marah, baby? Aku hanya … sedikit
menyayangkannya saja.” Billy mengedikkan bahunya. “Aku yakin pasti akan ada
banyak orang yang menonton video itu nantinya,” lanjut sebelum meletakkan pisau
dan garpunya di atas piring.
Selanjutnya
Billy memilih bangkit dan bersiapan menuju kampus. Madeline menghela napas
melihat sikap Billy yang nampak kecewa akibat rasa takutnya yang tidak
berdasar. Apa Madeline terlalu egois
karena rasa takutnya itu?
Sepanjang
perjalanan hanya suara musik dari audio mobil yang memecah keheningan.
Sedangkan baik Billy maupun Madeline memilih untuk tidak bersuara. Madeline
merasa bersalah atas sikap Billy yang menjadi dingin padanya. Dengan
mengerahkan seluruh keberaniannya, Madeline meraih punggung tangan Billy yang
berada diatas persneling. Sontak saja Billy menoleh dan tersenyum tidak selebar
biasanya.
“Ada
apa, Mad?” tanya Billy yang kembali menatap jalan di depannya.
Madeline
memejamkan matanya mencoba menghilangkan rasa takutnya. “Aku rasa kita bisa
mencoba menjelajah Schwarzwald.” Billy kembali menoleh ke arah kekasihnya.
Namun,
setelahnya ia menghela napasnya. “Kalau kau takut, tidak perlu dipaksakan, Mad.
Kita bisa mencobanya lain kali saja,” ucap Billy.
“Tidak
apa, Bil. Lagi pula aku ingin melawan rasa takut tak berdasarku ini. Asal kau
tidak meninggalkanku di dalam Schwarzwald, aku pasti akan merasa aman.”
Madeline tersenyum agar Billy merasa bahwa Madeline tidak terpaksa
mengatakannya.
Mendengar
ucapan kekasihnya membuat Billy terkekeh kecil. “Mana mungkin aku
meninggalkanmu, baby. Apa kau
benar-benar yakin?” tanya Billy. “Aku tidak ingin kau terlalu memaksakan diri,”
lanjutnya dengan pandangan sesekali menoleh ke Madeline.
“Sudah
aku bilang, bukan? Selagi itu bersamamu, aku akan merasa aman.” Senyum manis
Billy terbit begitu saja mendengar ucapan Madeline.
“Baik,
setelah selesai dari kampus aku akan menghubungi biro perjalanan yang
menawarkan jelajah Schwarzwald kemarin,” ucap Billy antusias yang langsung
mendapat kecupan dari Madeline.
***
Mata
Madeline menatap sekelilingnya dengan tatapan ngeri, bahkan tanpa sadar
tangannya sudah menggenggam erat tangan Billy. Cahaya disini benar-benar
temaram, padahal di luar sedang panas terik. Pantas saja hutan ini diberi nama
Schwarzwald atau Black Forest. Billy
segera menyalakan kameranya dan mengajak Madeline untuk greeting sebagai pembukaan video blog mereka nantinya.
Setelahnya
Madeline dan Billy mulai melangkahkan kakinya untuk menjelajahi hutan tersebut.
Awalnya, semua berjalan biasa saja, bahkan Billy sesekali mengggoda Madeline
karena rasa takutnya. Namun, keadaan berubah saat keduanya mendengar suara
gerisik dari daun-daun yang bersentuhan di salah satu balik pohon.
Madeline
segera menatap Billy, begitu pun dengan Billy yang juga menatap Madeline. Ada
sedikit guratan ketakutan di wajah Billy, meski lelaki itu mencoba tenang.
Billy melangkahkan kakinya ke arah pohon tersebut meski sempat dicegah oleh
Madeline.
Billy
terkejut sesaat melihat apa yang ada di balik pohon tersebut. Madeline yang
melihat gelagat Billy merasa gelisah dan menghampiri kekasihnya. Madeline pun
juga terkejut pada saat melihat dua orang menusia––lelaki dan perempuan sedang
berjongkok seakan sedang mengamati sesuatu dari kejauhan.
Merasa
ada orang lain yang mendekat ke arah mereka, dua orang tadi membalikan tubuhnya
dan ikut terkejut juga melihat Billy dan Madeline. Namun, setelahnya mereka
tersenyum sekilas.
“Hai,
aku Natalie,” ucap salah satu dari mereka dan mengulurkan tangannya.
Merasa
sesama perempuan, Madaline meraih tangan perempuan di hadapannya terlebih
dahulu. “Hai, aku Madeline.”
Setelahnya,
giliran lelaki di sebelah Natalie yang memperkenalkan diri. “Felix,” ucapnya
singkat walau senyum tetap ia tampilkan.
“Apa
yang kalian lakukan di sini?” tanya Billy setelah memperkenalkan dirinya pada
dua orang di depannya.
“Kami
sedang mengamati Baummarder tadi,” terang Natalie dan sepasang kekasih di
depannya hanya manggut-manggut saja.
“Jujur
saja, kami senang menjelajahi hutan-hutan seperti ini agar bisa melihat
hewan-hewan yang jarang kami lihat seperti di tempat biasa,” timpal Felix yang
lagi-lagi hanya mendapat anggukan dari Madeline dan Billy.
Schwarzwald
memang salah satu habitat dari hewan Baummarder––The Pine Marten yang merupakan salah satu spesies predator dari
keluarga marten––mirip musang. Mereka umumnya hidup di dalam hutan di daratan
Eropa dan Asia Barat.
Setelahnya
percakapan mereka mengalir begitu saja dan memutuskan untuk menjelajahi
Schwarzwald bersama. Sepanjang perjalanan Natalie dan Felix bercerita tentang
hewan apa saja yang mereka temui di sini dan beberapa hutan lainnya. Sepasang
kekasih tersebut mengaku sudah menjelajahi Schwarzwald sejak tiga hari yang
lalu.
Hingga
matahari semakin tenggelam dan membuat Schwarzwald benar-benar menjadi gelap
gulita. Beruntung kedua pasangan tersebut sudah mempersiapkan peralatan yang
mereka butuhkan dengan matang. Segera saja masing-masing dari mereka memegang
sebuah senter dan menyalakannya.
Billy
yang berada paling depan menghentikan langkah seketika saat senter yang
dibawanya menerangi sebuah bangunan yang cukup luas dan bisa dibilang megah
untuk ukuran bangunan dalam hutan. Hal itu membuat Billy dan lainnya
mengernyit.
“Apa
itu sebuah hotel atau penginapan?” tanya Madeline.
Billy
hanya mengedikkan bahunya. “I don’t know,
baby. Tapi setahuku, wilayah ini bukan yang biasa dijadikan tempat wisata.”
“Betul.
Wilayah yang biasanya dikunjungi orang-orang adalah bagian utara hutan ini, sedangkan kita berada di
bagian selatan,” tambah Felix.
“Bagaimana
kalau kita coba masuk ke dalam sana saja?” saran Natalie dengan antusias.
“Ide
bagus, honey,” balas Felix tak kalah
antusias. Lain halnya dengan Madeline dan Billy yang memandang heran pasangan
tersebut.
“Hei,
ayo!” ajak Natalie.
“Ayo,
Billy, Madeline! Lagi pula apa kau tidak butuh tempat untuk beristirahat malam
ini?” Billy menatap wajah Madeline saat mendengar ucapan Felix.
Billy
dan Madeline pun pasrah mengikuti Felix dan Natalie yang sudah lebih dahulu
melangkahkan kakinya mendekati bangunan tersebut. Ucapan Felix tadi memang ada
benarnya, meski di hati Madeline ada perasaan takut yang tiba-tiba
menghampirinya. Billy yang menyadari bahwa Madeline merasa sedikit gelisah
segera menenangkannya dengan merangkul bahu sang kekasih.
Felix
mencoba mengetuk pintu bangunan tersebut dan terkejut saat ternyata pintunya
tidak terkunci. Dengan hati-hati keempatnya melangkah kakinya ke dalam. Tidak
ada yang aneh dengan isi bangunan ini, bahkan yang ada justru terlihat seperti
sebuah rumah. Ada ruang tamu yang lengkap dengan sofa dan mejanya, juga ada sebuah
tangga sebagai penghubung ke lantai dua.
“Kita
istirahat disini saja.” Felix merebahkan badannya di sebuah sofa panjang dan
menarik tubuh Natalie untuk istirahat bersama di atas sofa tersebut.
Billy
pun melakukan hal sama seperti Felix dan memilih sofa yang sama panjangan
dengan sofa yang Felix dan Natalie tempati. Selanjutnya Billy dan Madeline
sudah berbagi tempat untuk istirahat bersama. Chest to chest dengan posisi miring menjadi posisi yang paling pas
meski sebenarnya tidak begitu nyaman.
Satu
jam berlalu kedua pasangan tersebut masih terlelap hingga saat waktu menunjukan
pukul dua pagi atau empat jam setelah keempatnya terlelap, tiba-tiba suara
Natalie membuat Madeline dan Billy terbangun.
Keduanya
terkejut saat melihat Natalie yang sudah menagis ketakutan dan Felix sudah
tidak ada di sisinya. Masih dengan rasa takut yang begitu kentara, Natalie
menunjuk sebuah sudut ruangan tersebut hingga Madeline dan Billy melihat kaki
Felix yang ditarik menuju sebuah tangga menuju ruang bawah tanah. Sontak saja
Billy menarik tangan Madeline dan Natalie tanpa banyak bicara dan segera
berlari menuju pintu keluar.
“Shit!!” umpatan tersebut terlontar dari
mulut Billy saat menyadari bahwa pintu keluarnya terkunci. Hal itu membuat
Madeline mulai menangis ketakutan seperti Natalie yang tangisannya masih belum
mereda.
Wajah
panik Billy tidak bisa disembunyikan lagi saat melihat beberapa pria bertubuh
besar mendekati mereka. Merasa bahwa ia lelaki sendiri di sini, tanpa disuruh
Billy memasang badannya melindungi dua perempuan di belakangnya yang semakin
menjadi tangisnya.
Masih
dengan sikap defensifnya, Billy berusaha mencari barang di dekatnya yang sekira
bisa dijadikan senjata untuk melawan beberapa orang yang semakin mendekatnya ke
arahnya. Lagi-lagi Billy hanya bisa mengumpat saat benda tersebut berada jauh
dari jangkauannya. Tidak ada jalan lain selain negosiasi. Hanya itu
satu-satunya cara yang terlintas dalam otak Billy yang mendadak menjadi buntu.
“Stop!”
teriak Billy yang ternyata membuat beberapa pria tersebut menghentikan
langkahnya.
“Katakan
apa maumu?” tanya Billy setenang mungkin walau suara gemetarnya begitu kentara.
Salah
satu dari orang tersebut tertawa mengejek, meski ekspresinya tidak jelas
terlihat karena topeng yang menutupi seluruh wajahnya. Hanya manik mata
tajamnya yang terlihat begitu menyeramkan yang tidak tertutupi.
“Her body,”
desis pria tersebut yang membuat Billy mengernyit.
Tiba-tiba
pria lainnya sudah menarik tubuh Madeline dan menyulut emosi Billy. Sontak saja
ia langsung menghajar pria tersebut. Namun, seperti seorang superhero yang
kuat, pria tersebut hanya bergeming di tempat saat Billy meninju dadanya. Billy
mencoba meninju lagi pria tersebut, tapi tubuhnya justru terhempas ke lantai
begitu saja hanya dengan sekali hentakan tangan pria besar tersebut.
Tangis
Madeline semakin menjadi saat melihat Billy yang masih mengerang kesakitan
justru disuntikan sebuah cairan yang membuatnya terlelap seketika. Begitu juga
dengan Natalie yang juga disuntikan cairan tersebut. Hingga menyisakan Madeline
yang masih dalam keadaan sadar. Sekuat tenaga ia memberontak, tapi tidak
menghasilkan apa-apa selain rasa lelah yang ia dapatkan.
Berbeda
dengan Billy dan Natalie yang dibawa ke ruang bawah tanah, Madeline justru
dibawa ke sebuah kamar yang berada di lantai dua. Namun, sepertinya kamar ini
tidak lebih baik dari ruang bawah tanah. Ruangan ini begitu gelap dan hanya ada
beberapa lilin merah yang menjadi sumber cahayanya.
Begitu
sampai di dalam, tubuh Madeline langsung dihempaskan ke kasur queen size yang ada di sudut ruangan. “Apa yang kalian lakukan!” pekik
Madeline yang ketakutan setengah mati.
“Ini
keistimewaan bagimu Nona cantik,” ucap pria bertubuh besar yang tadi membawanya
ke sini.
“Katakan
apa mau kalian! Kenapa kalian seperti penculik? Apa yang kalian lakukan pada
kekasihku dan teman-temanku!” sembur Madeline pada pria yang kini tengah
membuka sebuah laci di dekat kasur.
Mata
Madeline melebar saat melihat sebuah borgol sudah ada di tangan pria besar itu.
“Apa yang kau lakukan dengan benda itu!” Madeline mulai memeluk dirinya sendiri
yang membuat pria besar itu tertawa.
“Tidak
perlu takut, Nona cantik. Kau sudah mendapatkan keistimewaan karena berada
disini. Sebelumnya ada seorang perempuan yang menempati kasur ini dan sama
cantiknya dengan dirimu. Sayang sekali cairan buatan profesor bodoh itu membuat
perempuan itu mati bahkan sebelum kami sempat mencicipi tubuhnya.” Madeline
terkejut.
“Apa
maksudmu? Siapa perempuan yang kamu maksud?” tanya Madeline dengan wajah
memucat menahan takut.
“Kau
pasti tahu tentang berita seorang jasad perempuan yang ditemukan ditepian
sungai bersama kekasihnya yang menjadi gila.” Ucapan itu membuat Madeline
langsung beringsut menjauhi pria tersebut.
Pria
tersebut tertawa keras dan segera menangkap tubuh Madeline di atas kasur. Lalu,
memborgol kedua tangan juga kakinya. Air mata Madeline mengalir begitu saja. Ia
membayangkan apa yang ada di mimpinya benar-benar menjadi kenyataan.
“Aku
mohon lepaskan kami,” lirih Madeline saat pria besar itu melangkahkan kakinya
keluar.
“Salahkan
saja kekasih bodohmu yang dengan gampangnya masuk ke perangkap kami,” ucap pria
besar itu dan berlalu setelahnya.
Jadi kami tertipu
dengan tawaran menjelajah Schwarzwald ini? batin Madeline sambil menangisi firasat buruknya
yang ternyata benar.
***
Billy
mengerjapkan mata beberapa kali. Ia melihat keadaan sekitarnya dan menemukan
Natalie dan Felix yang tidak begitu jauh darinya dengan keadaan masih tidak
sadarkan diri. Tubuhnya menegang saat mengingat apa yang terjadi dengan mereka.
Seketika nama Madeline muncul dipikirannya dan rasa takut sekaligus marah
membakar tubuhnya saat ia tidak kekasihnya di sini. Tiba-tiba derap kaki
terdengar mendekat ke arah Billy dan menampilkan pria bertubuh besar lainnya.
Entah ada berapa banyak pria besar yang ada di sini.
“Dimana
kekasihku! Keluarkan aku dari tempat sialan ini!” kalimat itu terlontar dari
mulut Billy begitu saja.
Pria
besar itu tertawa keras. “Dia sedang berada di kamarnya, lelaki bodoh. Kami
akan menikmati tubuhnya terlebih dahulu sebelum ia dijadikan bahan percobaan
oleh profesor gila itu.”
“Sialan
kau!” umpat Billy dengan kerasnya. “Lepaskan aku dari sini!” Billy
menggunjangkan tralis besi yang menjadi penghalang dirinya dengan pria besar
itu.
“Salahkan
saja kebodohanmu yang dengan suka hati mengikuti penjelajahan bodoh itu.” Pria
besar itu tertawa puas sebelum berlalu.
Penyesalan
terbit dalam benak Billy karena tidak mengikuti kata hati Madeline yang
sekarang justru tidak ia ketahui keberdaannya. Tak lama, Felix tersadar dan
disusul Natalie. Keduanya terkejut setelah mendengar cerita singkat Billy.
Pasangan itu bisa menangkap bagaimana frustasinya Billy karena tak tahu harus
berbuat apa.
Di
lantai yang berbeda, Madeline hanya bisa terdiam sambil meringkuk di atas kasur
dan sesekali mengeluarkan air mata. Pelecehan yang baru saja terjadi membuat
tubuhnya lemas. Meski ini bukan pengalaman pertamanya, tapi rasanya benar-benar
sakit karena ia dipaksa melakukannya.
Pintu
kamar terbuka dan pria besar yang tadi melecehkannya datang kembali. Hal itu
membuat Madeline memejamkan matanya pasrah, ia bahkan sudah tidak peduli kalau
hidupnya akan berakhir seperti Adriana.
“Ikut
aku, Nona cantik,” ucap pria besar itu sambil melepaskan borgol di kaki dan
tangan Madeline.
“Apa
ini sudah waktunya?” tanya Madeline pasrah.
Ia
sudah tahu semuanya. Pria besar itu secara tidak langsung sudah menceritakan
kebenaran tentang apa yang terjadi pada Adriana dan Lennard. Ia begitu terkejut
saat tahu bahwa Adriana dijadikan bahan percobaan untuk menyuntikan cairan
kimia hasil eksperimen seorang professor. Professor gila itu ingin menjadikan
Adriana sebagai budak sex yang tidak
memiliki rasa sakit dan tidak berhati––bisa dibilang hidupnya akan seperti
robot. Namun, ternyata cairan itu gagal dan membunuhnya dengan bekas melepuh
seperti luka bakar. Dan sekarang Madeline yang ada di posisi itu.
“Bisakah
aku meminta sesuatu sebagai yang terakhir kalinya?” tanya Madeline dengan
memohon.
“Apa?”
“Izinkan
aku bertemu kekasihku,” lirih Madeline. “Untuk yang terakhir kali.” Kalimat
terakhir tidak terdengar begitu jelas karena tenggorakannya yang mendadak
terasa serak.
“Tunggu
keputusan profesor nanti.” Pria besar itu segera menyeret Madeline menuju ruang
bawah tanah.
Saat
menyusuri lorong di bawah tanah, mata Madeline berusaha mencari keberadaan
Billy juga Natalie dan Felix. Namun, hasilnya nihil sampai ia tiba di sebuah
ruangan yang lebih luas dari kamar tadi, tapi sama gelapnya.
Bau
cairan kimia yang menyengat menyapa indra penciuman saat kakinya memasuki
ruangan tersebut. Tak lama, giliran indra pendengarannya yang disambut oleh
suara tawa pria paruh baya dan membuat Madeline bergedik ketakutan.
“Selamat
datang, cantik.” Kalimat itu membuat Madeline menoleh dan sangat terkejut
karena profesor gila itu ternyata adalah profesor Hans––dosen ahli kimia di
universitasnya. Bahkan profesor ini juga sempat dimintai bantuan oleh pihak
kepolisian.
“Shit! Kau sungguh mirip dengan Mariana,
nona cantik,” ujarnya dengan tatapan memuja. “Apa kau sudah menikmati
tubuhnya?” profesor itu menatap tajam pria besar yang membawa Madeline.
Profesor
Hans mendengus setelah mendapat jawaban berupa anggukan dari si pria besar.
Namun, setelahnya ia menyuruh pria besar itu keluar dari kamar dan hanya
menyisakan ia bersama Madeline.
Sedangkan
perempuan itu hanya menangis saat profesor Hans mendekatinya. Tangan keriput
itu membelai pipi Madeline. Ada rasa ingin menepis tangan pria tua di
hadapannya ini, tapi niatan itu Madeline urungkan.
“Jangan
menangis,” ucap professor Has dengan tulus, tapi justru membuat Madeline
semakin takut.
“Pertemukan
aku dengan Billy.” Profesor Hans hanya menyeringai mendengarnya.
“Lupakan
saja lelaki bodoh itu, sayang,” ujar Profesor Hans yang masih membelai wajah
Madeline.
Setelah
dari tadi hanya menunduk, Madeline menegakan kepalanya. “Aku mohon,” lirihnya.
“Setelahnya kau mau apakan diriku, aku tidak peduli, tapi tolong, izinkan aku
bertemu dengan Billy untuk terakhir kalinya.” Profesor Hans menghentikan
gerakan tangannya. Ia menatap lekat mata Madeline. Hampir semuanya yang ada
pada Madeline mengingatkannya pada Mariana, tapi ia tak menyangka bahwa mata
itu benar-benar membuatnya seperti melihat Mariana di hadapannya.
Sejak
pertemuan tak sengajanya dengan Madeline beberapa minggu lalu membuat Profesor
Hans mencari cara untuk menjadikan Madeline korban selanjutnya, tapi ia tak
menyangka bahwa melihat Madeline di hadapannya seperti ini membuat teringat
pada Mariana––istrinya yang meninggal 20 tahun yang lalu akibat leukemia. Rasa kehilangan itu juga yang
membuatnya melakukan berbagai eksperimen untuk membuat Mariana serasa masih ada
terus di sisinya.
“Aku
mohon,” pinta Madeline sekali lagi yang membuat Profesor Hans menyerah.
“Abe!!”
teriak Profesor Hans dan tak lama pria besar tadi muncul kembali.
“Bawa
lelaki bernama Billy itu kemari!” perintah Profesor Hans setelahnya dan memilih
untuk beralih ke cairan kimia yang asapnya mengepul keluar dari tabung sambil
mengamati.
***
Madeline
langsung memeluk tubuh kekasihnya begitu Billy memasuki ruangan ini. “Are you okay, baby?” pertanyaan itu
menjadi kalimat yang pertama kali muncul dari Billy. Madeline hanya mengangguk
kecil.
“Profesor
Hans?” Billy mengernyit saat melihat dosen kimianya berdiri di dekat beberapa
tabung cairan kimia.
“Waktu
kalian hanya lima menit dari sekarang,” ujar Profesor Hans sambil melirik
arlojinya.
Billy
langsung menggamit tangan Madeline. “Ayo, Mad. Kita keluar dari sini dan
selamatkan Natalie juga Felix.” Madeline bahkan belum sempat mengatakan apapun
karena Billy langsung melangkahkan kakinya buru-buru.
Baru
beberapa langkah, pria besar yang mengantar Billy tadi segera menghadang
keduanya. “Hei, minggir! Bosmu sudah memberikan kesempatan pada kami!” seru
Billy yang justru mendapat tawa keras dari Profesor Hans.
“Dasar
lelaki bodoh!” ejek Profesor Hans. “Lima menit adalah waktu kalian untuk
mengucapkan kata perpisahan bukan melarikan diri.”
“Waktu
kalian tinggal empat menit lagi,” imbuhnya.
“Apa
maksudmu?” tanya Billy dengan menantang.
“Kau
tidak dengan apa kataku tadi? Madeline akan menjadi milikku. Dia akan menjadi
Marianaku. Dia juga yang akan menjadi budak sex
untukku.” Kalimat itu membuat Billy murka seketika dan langsung menyerang
Profesor Hans, ia bahkan tidak menghiraukan jeritan Madeline.
Merasa
bosnya terancam, Abe––pria besar tadi langsung menyerang Billy. Entah kekuatan
dari mana yang ia dapatkan, tapi Billy berhasil menyeimbangi serangan Abe.
Tinjuan, tendangan, dan pukulan lainnya sudah mendarat di tubuh masing-masing
hingga Billy jatuh tersungkur ke lantai. Namun, seolah dewi fortuna sedang
berpihak padanya, Billy justru menemukan sebuah pistol di bawah ranjang kasur
di dekatnya.
Tanpa
basa-basi Billy segera menarik pelatuknya dan peluru tersebut mengenai paha
Abe. Bukannya kesakitan, pria besar itu hanya bergeming sesaat sebelum
menyerang Billy kembali dan merampas pistol di tangannya. Hal tersebut tak
luput dari penglihatan Madeline dan membuatnya semakin histeris, sedangkan
Profesor Hans hanya tertawa bahagia.
Lagi-lagi
keberuntungan masih berpihak pada Billy karena peluru yang ditembakannya tadi
adalah peluru terakhir, tapi hal itu juga yang membuat Abe marah dan menyerang
Billy dengan tangan kosong. Kali ini Billy benar-benar tidak bisa menghindari
amukan Abe. Badannya sudah beberapa kali terpelanting ke lantai, bahkan kepalanya
sudah tidak terasa apa-apa lagi. Hanya tangisan Madeline dan tawa Profesor Hans
yang masuk di telinganya.
Hingga
tubuhnya kembali dibanting oleh Abe untuk kesekian kalinya. Billy hanya
memejamkan matanya pasrah, bahkan saat tangan kekar Abe sudah mencekik lehernya
dan membuatnya kehilangan napas. Matanya ia lirikkan ke arah Madeline yang
semakin menjeritkan namanya.
‘I love you, Madeline,’ batin Billy
sebelum dunianya menggelap.
Bersamaan
dengan itu, dewa penyelamat bagi Madeline datang. Beberapa polisi sudah berada
di ambang pintu dengan menodongkan pistolnya ke arah Abe dan Profesor Hans.
Setelahnya mereka digiring polisi dan Madeline langsung menghampiri Billy yang
sudah terpejam.
“Billy,
bangun!” seru Madeline sambil menggoyangkan tubuh kekasihnya. “Aku mohon
bangun, baby! Jangan menakuti seperti
ini! Billy!!” Madeline meraih tangan Billy tanpa menghentikan tangisannya. Felix
dan Natalie mencoba mendekati Madeline bersama salah satu polisi.
Polisi
tersebut menempelkan jarinya ke leher Billy. “Kita masih bisa
menyelamatkannya.” Kalimat itu membuat tangisan Madeline agak mereda.
Setidaknya mimpi buruknya itu tidak akan jadi kenyataan.
***
Billy mengelus lembut puncak kepala Madeline yang
tertidur dengan posisi duduk di bangku dekat ranjang pasien––tempat Billy
berbaring. Kondisi lelaki itu sudah lebih baik meski memar di tubuhnya belum
hilang sepenuhnya dan juga bekas luka cekik yang masih nampak jelas di leher.
Setelah dirinya sadar dari pingsan dan mulai membaik
kemarin, Billy langsung dimintai keterangan terkait kejadian di Schwarzwald.
Sementara Madeline sudah dimintai keterangan terlebih dahulu begitu keadaannya
lebih baik setelah mendapatkan perawatan karena kesaksiannya yang mengaku sudah
dilecehkan salah satu anak buah Profesor Hans. Bahkan perempuan itu pun sempat
melakukan visum guna mendapatkan bukti yang valid.
Profesor Hans pun sudah mendekam di penjara beserta
anak buahnya dan terancam hukuman mati karena sudah membunuh lebih dari sepuluh
perempuan dengan usia kisaran dua puluh sampai dua puluh lima tahun dengan cara
yang sama––memberikan duplicate of
Mariana––cairan gagal temuannya. Pria tua itu bahkan sudah menyalahgunakan
keahliannya untuk membuat cairan kimia terlarang seperti anti killed fluid––membuat tubuh seseorang bisa menjadi sangat kuat
dan tidak merasakan rasa sakit sama sekali yang ia berikan pada anak buahnya.
Cairan kimia buatan lain hasil ciptaannya adalah mind destroyer––merusak jaringan otak
seseorang agar berhalusinasi dengan ketakutannya sendiri seperti yang ia
berikan pada Lennard sebelum dibuang di tepi sungai Murg. Namun, kondisi
Lennard mulai dapat ditangani sambil menunggu anti biotik ramuan Profesor Hans
sebagai bentuk tanggungjawab atas apa yang telah dilakukan.
Madeline menggeliat kecil karena merasakan gesekan
telapak tangan Billy di atas kepalanya. Lain halnya dengan Billy yang masih asik
mengelus rambut kekasihnya itu. Ia melakukan hal tersebut tanpa sadar sambil
menonton televisi hingga terkejut saat mendapati kekasihnya kini sudah
terbangun dengan wajah yang menggemaskan.
“Kau sudah bangun?” tanya Billy sesudah menetralkan
rasa keterkejutannya.
“Aku rasa tangan jahilmu itu yang sudah
membangunkanku,” balas Madeline yang membuat Billy tertawa kecil.
“Maaf. Aku bahkan tidak sadar kalau tanganku masih
mengelus rambutmu tadi.” Keduanya tersenyum satu sama lain, tapi selanjutnya
suasana mendadak hening.
Mata Billy tak lepas dari wajah Madeline yang membuat
rasa bersalahnya kembali terbit karena sudah melakukan sebuah kebodohan hingga
menyakiti kekasihnya itu. Begitu pula dengan mata Madeline yang menatap lurus
leher Billy yang masih meninggalkan bekas cekikan. Ia merasa hal itu terjadi
karena kesalahannya.
“Madie …,”
“Billy …,”
Keduanya memanggil nama satu sama lain bersamaan.
Keheningan terjadi kembali beberapa detik sebelum tiba-tiba Madeline
menubrukkan tubuhnya ke tubuh Billy. Tangis perempuan itu pun memecah
keheningan yang ada di antara mereka sambil mengatakan maaf berkali-kali.
Billy yang sempat terkejut hingga hampir terjungkal ke
belakangan––jika tidak ada ganjalan bantal yang tinggi itu mengelus punggung
Madeline sambil menenangkannya. “Sudah, baby.
Kau tidak salah. Aku justru yang merasa bersalah padamu.”
Madaline melonggarkan pelukannya dan menatap Billy.
“Maafkan aku karena terlalu egois dan membuatmu harus merasakan hal itu.” Raut
penyesalan tercetak jelas dalam sorot mata Billy.
Menggeleng cepat, Madeline menepis kata-kata bila dan
mengelus lembut pipi kekasihnya itu. “Tidak, Billy. Kau lelaki terhebat bagiku.
Kau bahkan tidak peduli bila kau harus mati asal diriku bisa aman. Ich liebe dich so sehr.”
Billy tersenyum dan segera menangkup wajah cantik
kekasihnya. “Ich liebe dich auch so sehr,
Schatz.” Dengan perlahan bibir keduanya bertemu dan menebarkan sensasi yang
tak terjelaskan, tapi menjadi candu bagi keduanya. (Yusamori)
TAMAT
Leave a Comment