Bayang Menyerang



Oleh: YourImagination


Setiap orang memiliki tempat favoritnya masing-masing untuk menenangkan diri. Sebuah tempat yang sepi sebagai tempat menyalurkan emosi, membuang duka, berbagi lara, yang barangkali hanya diri sendiri yang mengetahui. Aku selalu datang kesini setiap kali ingin melarikan diri. Ini bukan tempat sepi berteman sunyi. Ini hanya tempat yang semua orang dapat mengenali. Ya, Jalan Malioboro. Destinasi ikonik Daerah Istimewa Yogyakarta. Bukan sebuah tempat yang cocok jika ingin menyembunyikan diri dari hiruk pikuk lalu lintas kehidupan, bukan pula tempat yang cocok jika ingin membenamkan diri dari keributan pikiran dan bayang yang memuakkan.
Tetapi di sini aku bisa menjadi diri sendiri. Berlagak seperti orang normal yang baik-baik saja yang sedang berbahagia menikmati hidup dengan suka cita. Berpura-pura tertawa tanpa peduli bahwa ada pilu membekas dan menyeruak kapan saja dalam jiwa. Aku hanya ingin sendiri, menikmati kesendirian tanpa perlu dikasihani ataupun dihakimi. Menyusuri pelan jalan Malioboro yang lengang, menghirup udara bebas tanpa terpenjara ruang yang terbatas. Beberapa penjual dan orang yang berjalan tersenyum menyapaku entah karena apa, namun semangatku yang padam kembali ada. Setidaknya aku dapat mengendalikan diri untuk saat ini.
Langkahku terhenti di area Titik Nol Kilometer, mengamati keadaan sekitar dengan tatapan nanar. Membekas dalam memori sewaktu dulu aku menghabiskan waktu untuk hanyut dalam melodi. Membagikan perasaan pada setiap gesekan dan alunan biola yang kumainkan. Awalnya aku hanya ingin sekedar menghibur diri sekaligus berbagi kepada orang lain, namun orang-orang perlahan-lahan memberikan kepingan koin maupun lembaran kertas berlipat dengan nominal yang berbeda-beda. Aku tertawa kala itu, tetapi seorang pemuda bertopi berkaus biru laut menatap ke arahku dan mengatakan bahwa semua karya perlu diapresiasi. Jika penonton menikmatinya, mereka siap memberi nominal berapa saja. Masa itu sudah lama berlalu, tak bisa lagi aku memburu dengan waktu.

Masih pukul tiga sore. Masih terlalu awal jika ingin kembali ke rumah. Karena aku ingin bebas hari ini, aku memutuskan untuk berlanjut. Menyusuri jalanan kembali menuju Alun-alun Utara. Alun-alun yang berhadapan langsung dengan Keraton Yogyakarta. Aku hanya duduk tenang bersila di gerbang depan Keraton. Dari sini segala sudut Alun-alun hingga lalu lintas jalan terlihat jelas. Ada seorang anak kecil yang sedang berlarian mengejar ayahnya menarik perhatianku. Tangan kanan mungilnya menggenggam erat stik es krim. Ia masih sibuk mengejar ayahnya meski sesekali berhenti untuk menjilat es krimnya yang meleleh. Sedangkan sang ibu hanya duduk sepertiku, tertawa sambil memperhatikan interaksi mereka.
Aku rindu Ibu dan Bapak.

Aku tersenyum tipis memperhatikan mereka. Ada kehangatan menjalar dalam raga, sesuatu yang menyeruak namun tertahan tersendat sekat tak kasat mata. Seperti halnya seekor anak burung kecil yang membutuhkan induknya untuk mengajari dan menemaninya terbang, seperti ayam kecil yang mengikuti kemanapun sang induk pergi, seorang anak tetaplah anak yang membutuhkan pelindung sekaligus pengayom. Tak dapat berdiri tegak sendiri, seperti sekuat apapun batu karang menghadang deru ombak yang menerjang, ia bisa rapuh dan terkikis perlahan. Mataku berubah memanas, berubah samar pandangan ketika setumpuk cairan menggenang di pelupuk mata.
Detik berikutnya ponselku berbunyi nyaring. Nama ibu muncul disana. Ada tujuh panggilan tak terjawab sebelumnya, aku tahu aku memang sengaja tak mengangkatnya. Ibu pasti mencariku tapi aku sedang tidak ingin pulang. Kalian pernah merasa rindu dengan ibu dan bapak namun tak ingin bertemu dengan mereka? Ah, aku sendiripun tak tahu kenapa. Aku sedang ingin menikmati semuanya sendiri, lagipula mungkin hanya hari ini yang bisa aku miliki. Beberapa pesan masuk dari ibu. Aku membacanya cepat.
Dimana? Bapak sudah pulang. Bawa oleh-oleh buat kamu. Ibu masak makanan kesukaanmu. Pulang sekarang.
Tubuhku terasa menggigil. Merasakan aura perintah tak terbantah dari pesan ibu. Mau tidak mau aku harus kembali, perintah ibu adalah mutlak. Padahal mentari mulai berlalu ke peraduan tetapi udara masih terasa panas menyengat. Aku merogoh tas kecil yang aku kenakan, ada sebungkus plastik kecil disana, diselipkan oleh Mia, kakak

perempuanku, uuntuk jaga-jaga katanya. Aku memasukkannya kembali ke dalam tas lalu berlari menuju rumah.
Jarak rumah tak terlalu jauh. Begitu sampai, aku langsung masuk dengan tubuh sedikit gemetar. Masih mengigil rasanya. Bapak berdiri dengan tatapan datar ke arahku lalu melewatiku begitu saja. Aku hanya diam, tak terlalu terkejut dengan sikap bapak. Sedang ibu tersenyum lalu menuntunku menuju meja makan. Menyiapkan makanan untukku mungkin karena tahu aku belum makan siang.
“Bapak masih capek, jadi mungkin sikapnya begitu.” “Bapak selalu begitu, bu. Tidak perlu membelanya.”
Tergambar senyum tipis di wajah ibu. Terlihat jelas dari ekor mataku meskipun sedari tadi aku tidak mau memandang wajah ibu sedetikpun.
“Makan saja yang banyak. Ibu mau ke kamar, istirahat.”

Aku masih memasang ekspresi datar seolah bukan hal besar yang perlu dipermasalahkan. Menyantap makanan pun rasanya enggan. Perutku sudah mual begitu masuk ke rumah. Ibu selalu saja begitu. Ya, mengganggu. Aku baru terhenyak ketika mendengar suara memekakkan pecahan barang datang dari ruang tengah. Aku menuju sumber suara, ada bapak disana dengan televisi menyala dan satu vas bunga keramik besar pecah di tepi jendela. Bapak menatapku nyalang.
“Enak sekali kamu, hah! Pergi lalu pulang seenaknya, tinggal makan tanpa susah payah cari duit. Pergi ke mana kamu, hah?” Bapak berjalan mendekat ke arahku. Tetapi aku bergeming. Berganti membalas tatapan nyalang bapak.
Kini bapak membanting remote televisi hingga pecah bentuknya. “Kamu seenaknya buang-buang duit, untuk foya-foya, jalan-jalan, sudah gak berbakti kamu sama orang tua! Apa untungnya kamu sebagai anak!”
Aku mengepalkan tangan kuat-kuat. Bapak sudah biasa seperti ini, tetapi entah kenapa ini terlihat lebih parah dari biasanya. Inginku menumpahkan segala kata-kata yang menumpuk dan memberontak ingin dikeluarkan. Foya-foya? Bukankah bapak yang lebih sering pergi entah kemana dengan dalih pekerjaan, tetapi aku tahu bapak tak pernah pergi. Ia berkumpul bersama teman-temannya untuk bersenang-senang.

“Sudah bisu kamu sekarang hah? Heh! Pasti kamu kan yang mengambil uang bapak di tas? Iya pasti kamu siapa lagi yang berani mencuri selain kamu!”
Aku membiarkan bapak berkata apapun semaunya. Lagipula apapun yang aku lakukan selalu salah baginya. Bapak tak mengenal kata ampun dariku. Aku menunggu kata-kata selanjutnya dari bapak. Namun bapak masih menatapku dengan tatapan mata memerah. Selanjutnya aku terkesiap, ketika tangan besar bapak mendarat dipipi kananku. Setelah itu yang aku rasakan sebuah gagang sapu mengenai pinggangku hingga jatuh tersungkur. Pukulan bapak masih berlanjut hingga berkali-kali. Aku masih diam, hingga sosok ibu terlihat di depan kamarnya memandangku tanpa ekspresi. Aku juga tidak akan meminta pertolongan padanya.
“Aku punya banyak uang kalau bapak mau.” Teriakku dengan lantang.

Bapak mendadak berhenti lalu aku masuk kedalam kamar. Membuka lemari dan mengeluarkan satu kotak kecil tempatku menyimpan uang hasilku bermain biola. Isinya kosong. Begitu pula dengan isi tasku yang sudah berhamburan di atas ranjang. Aku menghela nafas panjang sembari menahan denyutan yang menyeruak sekujur tubuhku. Tak perlu mencari tahu siapa yang mengambilnya. Ibu. Dan semua uangku dan uang bapak yang selalu hilang tiba-tiba. Aku sudah tahu, dan masih saja bersikap biasa di hadapan ibu yang masih terlihat baik padaku.
Aku mengunci pintu kamar rapat-rapat, mencegah bapak masuk kedalam. Lalu luruh di belakang pintu menangis kembali menyeruakkan sesak yang membusuk terlalu lama tertahan. Aku membuka isi lemari, melempar semua isinya. Membanting biola dan gitarku hingga rusak senar-senarnya. Memecahkan vas-vas bunga hingga bingkai-bingkai foto keluarga yang terpajang.
Aku menjerit keras tak peduli apa yang terjadi di luar sana. Meskipun pintu kamar terketuk keras berkali-kali, hingga berubah pukulan-pukulan yang memaksa untuk pintu terbuka. Tetapi tak ada suara yang menyahut, tak ada teriakan dari bapak maupun suara lainnya hanya pukulan pada pintu yang makin mengeras.
Beberapa detik berikutnya pintu kamar terbuka dengan paksa habis terdobrak. Aku duduk meluruh disudut kamar lalu mendapati tangan halus membelai rambutku lalu memelukku.

“Re, ini aku Mia. Maaf aku baru pulang kerja, maaf membiarkan kamu sendiri disini. Tenang. Tenang. Tak ada siapapun di sini, tidak akan ada yang memukul kamu lagi. Bapak ibu sudah nggak ada. Nggak ada, Re.”
Aku tertahan isakan dalam pelukan Kak Mia. Samar-samar terbayang kabar dua minggu lalu ketika bapak dan ibu memilih pergi meninggalkan kami berdua dan pesawatnya hilang, tak pernah bisa ditemukan. Aku memekik dan meraung kembali. Rasa trauma itu selalu kembali menghantui, mengikat erat, memeluk raga hingga tak bertenaga. Rasa pusing menghantam ngilu hingga tak tertahankan. Kak Mia mengambil plastik kecil dalam tasku, memberikan satu pil obat. Memelukku hingga menenangkanku beberapa kali.
Pak, Bu. Aku baik-baik saja. Buat aku baik-baik saja.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.